Mengembalikan Kemegahan “Omo Nifolasara” Hilimondregeraya

 

“Satu desa hilang bila tidak ada rumah adat.” Demikian ungkapan keresahan dari seorang Pastor Johannes Maria Hämmerle, Direktur Yayasan Pusaka Nias. Keresahan Pastor Johannes  seharusnya menjadi keresahan setiap orang di Pulau Nias yang mencintai budayanya sehingga penjualan sebuah “Omo Nifolasara” atau “Omo Sebua” (rumah besar) tidak akan terulang lagi.

Dikisahkan Pastor Johannes, pada tahun 1927 sebagian dari omo sebua di Desa Hilimondregeraya dijual kepada Dr. A.G. Moller (1923–1927), seorang dokter asal Denmark, yang bertugas di bidang kesehatan pada saat pemerintahan Kolonial Belanda di Nias. Saat itu kondisi rumah adat yang dibangun pada 1860 tersebut sangat buruk dan hampir ambruk karena pemilik tidak sanggup memelihara. Putri pemilik rumah yang bernama Suri Sarumaha juga dinikahi Dr. A.G. Moller dan diboyong ke Denmark.

Dr. A.G. Moller hanya membeli bagian depan rumah yang ada lukisannya. Beberapa benda juga ikut dibawa, seperti telau lasara, khölö-khölö, dan patung-patung.  Semua warisan budaya yang seharusnya bisa kita nikmati saat ini kini sudah menjadi milik Museum of Copenhagen, Denmark, hingga sekarang.
Meskipun demikian, kita semua masyarakat Nias patut bersyukur. Sebab, kita tidak perlu lagi datang ke Denmark untuk menyaksikan Omo Nifolasara Hilimondregeraya yang asli. Replikanya kini sudah bisa kita nikmati.

Pembangunan Replika “Omo Nifolasara”

Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan kecintaan masyarakat Nias atas budayanya sendiri, akhirnya replica Omo Nifolasara di Hilimondregeraya pun dibuat.

Seperti kita ketahui, hampir setiap desa adat di Nias Selatan memiliki omo nifolasara atau Omo Sebua. Biasanya ukurannya berbeda dengan rumah adat yang ada di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tersebut adalah milik seorang raja atau bangsawan. Omo sebua juga menunjukkan identitas sebuah desa.
Omo Sebua pertama di Desa Hilimondregeraya dibangun oleh Siwa Lowalani, anak dari pendiri Desa Hilimondregeraya, Tönöni Si’ulu.

Desa Hilimondregeraya, yang berjarak 8 kilometer dari kota Telukdalam, Nias Selatan, dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan empat, kini tidak lagi “malu-malu” seperti dulu, yang tanpa Omo Sebua. Kegagahan Omo Sebua Hilimondregeraya pun telah kembali. Anak cucu dan generasi berikutnya setidaknya terus mengenal sejarah nenek moyangnya.

Omo Nifolasara Hilimondregeraya yang dibawa ke Denmark | Foto: http://nias.natmus.dk
Pembangunan replika Omo Nifolasara di Desa Hilimondrege Raya bermula dari kesadaran masyarakat setempat bahwa cagar budaya ini harus diselamatkan dan dipertahankan. Ada kemauan yang sama di antara semua masyarakat desa.

Sikap ini tentu kita syukuri dan terus kita pertahankan untuk menyelamatkan berbagai situs budaya Nias yang masih belum tertangani dengan baik. Kesamaan visi itulah yang membuat semua warga bersepakat untuk mengembalikan kembali kemegahan Omo Nifolasara di Desa Hilimondregeraya ini. Dengan begitu, ada usaha dan harmoni dalam berjuang agar apa yang diinginkan tercapai.

Gerakan pembangunan kembali Omo Nifolasara Hilimondregeraya pun dicanangkan sejak 28 Agustus 2010. Sejak itu, masyarakat bahu-membahu membangun replika rumah adat yang sudah dibawa oleh Dr.A.G.Moller itu ke Denmark.

Berbagai usaha tiada mengenal lelah pun dijalankan. Perjuangan mereka didukung oleh Yayasan Pusaka Nias, sebuah yayasan nirlaba yang peduli dengan pendokumentasian dan pelestarian di Pulau Nias. Yayasan Pusaka Nias yang menggandeng Yayasan Tirto Utomo memulai pembangunan rumah adat dengan dana sebesar Rp 480 juta ini.

Dana sebesar Rp 480 juta berasal dari Yayasan Tirto Utomo. Seperti ditegaskan supervisor pembangunan omo sebua Iskar Gulö. “Dana sebesar Rp 480 juta itu merupakan sumbangan dari Yayasan Tirto Utomo, selebihnya berasal hasil swadaya masyarakat desa,” ujarnya.

NBC, yang pada saat peresmian selesainya pembangunan Omo Sebua Hilimondregeraya ini pun mendapatkan penjelasan soal sulitnya membangun kembali rumah besar ini, dari kepala tukang Saniaga Duha. “Salah satu hal terpenting dalam pembangunan sebuah rumah adat adalah pemilihan jenis kayu. Ada beberapa jenis kayu yang digunakan dalam pembangunan rumah adat yang dikerjakan oleh 12 tukang tersebut, yakni afoa, simandraölö, siholi, manaŵadanő, mosibaŵatalio, osala, berua, simalambuo, dan ma’usö,” ujar Saniaga Duha. Kayu-kayu yang sebagian besar merupakan kayu endemik Nias ini berasal dari beberapa daerah di Pulau Nias.

Berubah Nama

Guna menghormati dan mengenang bantuan yang disalurkan oleh Yayasan Tirto dalam pembangunan kembali Omo Sebua Hilimondregeraya, nama rumah adat ini pun berubah nama menjadi “Omo Sebua Tirto Fondregeraya”. Pemberian nama ini dilakukan pada 4 Mei 2012, atas kesepakatan semua masyarakat Desa Hilimondregeraya.

Sebelum diresmikan, masyarakat menggelar proses Pembelian Rumah Adat. Dalam prosesi adat tersebut, Tuha Satarö berperan sebagai pembeli rumah berjalan menuju omo sebua diiringi dengan tari-tarian. Setibanya di halaman rumah, Tuha Satarö mengajukan beberapa pertanyaan kepada penjual rumah. Salah satu pertanyaannya, apakah rumah tersebut membawa kebahagiaan dan rezeki.

Prosesi ini tentu menyampaikan pesan moral bahwa rumah sebua ini harus tetap terjaga agar disukai orang. Dengan begitu, akan datang banyak lagi “pembeli” yang tidak lain adalah para wisatawan yang ingin melihat kemegahan budaya leluhur kita.

Sementara itu, selain pencantuman nama pada nama rumah adat, Lisa Tirto Utomo, Ketua Yayasan Tirto Utomo, dan Pastor Johannes Maria Hämmerle juga mendapat gelar kebangsawanan. Lisa Tirto mendapatk gelar “Sorai Ana’a” dan Pastor Johannes Maria Hämmerle dianugerahi gelar “Tuha Samaeri Nahönö”.

Dengan selesainya pembangunan Omo Sebua ini, pemilik rumah Ama Masioho Harita (62), mengaku sangat senang.  Ama Masioho merupakan generasi ke-5 yang menempati rumah adat tersebut. “Saya merasa senang karena Yayasan Tirto Utomo telah membangun rumah ini. Saya berharap rumah ini ke depan bisa menjadi tempat wisata,” ujar Ama Masioho.

Pelestarian warisan budaya adalah tugas kita bersama. Bila kita hanya menunggu sampai ada orang lain yang mengulurkan tangan, cepat atau lambat, kita akan kehilangan warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Kesadaran masyarakat Desa Hilimondregeraya untuk kembali membangun omo sebua menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai peduli akan pentingnya keberadaan sebuah omo sebua di sebuah desa. Sikap ini perlu kita internalisasi dalam diri kita sebagai orang Nias agar kita semakin mencintai budaya kita sendiri.
Bila pada akhirnya ada pihak yang mau membantu, hal itu karena masyarakat telah lebih dulu menunjukkan kesungguhannya dalam membangun dan melestarikan warisan budaya yang kelak akan memasyhurkan nama Desa Hilimondregeraya.

Omo Nifolasara Hilimondregeraya kini sudah bersolek dan siap menerima kedatangan parawisatawan.  Terima kasih kepada Ibu Lisa “Sorai Ana’a” Tirto Utomo (Yayasan Tirto Utomo) dan Bapak Johannes Maria Hämmerle “Tuha Samaeri Nahönö”(Yayasan Pusaka Nias).  [DESTY HULU/SEIMAN LASE]

Tulisan pernah dimuat di www.nias-bangkit.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar