Menelusuri Peran Saönigeho Melawan Belanda



 
Bawömataluo sebagai pusat kebudayaan di Nias Selatan telah memukau dunia. Keberadaan Omo Nifolasara dan atraksi Hombo Batu mampu menarik banyak orang untuk datang di “Desa Bukit Matahari” itu. Namun, tidak banyak orang yang tahu, pada masa pendudukan Belanda di bumi Nias Selatan, Desa Bawömataluo hampir saja dibumihanguskan. 
 
Sosok Saönigeho adalah orang yang mempertahankan Desa Bawömataluo tetap berdiri, meskipun harus membayarnya dengan harga yang mahal, yaitu dengan menjadi tawanan Belanda.

Untuk mengenang tokoh pejuang ini pun di Telukdalam nama Saönigeho diabadikan menjadi nama jalan.
 
NBC tertarik menggali cerita turun-temurun soal Saönigeho ini dari seorang pemangku adat Bawömataluo, Waspada Wa’u, beberapa waktu lalu. Diakui, bahwa karena ketiadaan bacaan soal sejarah ini, banyak generasi muda Nias yang tidak mengetahui tentang Saönigeho. Berikut penelusuran kami.

 Asal Mula Desa Bawömataluo

Keberadaan Desa Bawömataluo tidak dapat dipisahkan dari perang Orahili melawan Belanda (1840-1863).  Selama 23 tahun, Belanda berupaya menaklukkan Desa Orahili, tetapi selalu gagal dan dapat dipatahkan.

Konon, perang yang dipimpin oleh Raja Orahili Lahelu’u tersebut menggunakan strategi perang dan alat perang yang hampir sama seperti yang digunakan oleh pejuang Vietcong melawan Amerika Serikat.
Salah satu senjata yang digunakan pada saat itu adalah famura, senapan kuno yang digunakan dengan cara menembakkannya dari paha.

Karena tidak berhasil menaklukkan Orahili, akhirnya Belanda memutuskan membumihanguskan Desa Orahili pada 1863. Penduduk Desa Orahili kemudian eksodus ke Gomo, kembali ke asal mereka, yaitu Desa Baruzö Sifaedo.

Pada 1867, sekelompok orang mencoba menjajaki kalau mereka bisa kembali lagi ke Desa Orahili. Mereka tiba di sekitar Desa Orahili, tepatnya di Desa Lubodambu.

Dalam usaha mencari kawasan yang bisa dijadikan tempat bermukim tersebut, akhirnya di antara mereka ada yang menemukan suatu tempat,  itulah Desa Bawömataluo.

Dengan semangat untuk mempertahankan keberadaan dan untuk mendapat pengakuan dari desa-desa di sekitarnya, masyarakat Desa Bawömataluo segera bangkit dengan lambang-lambang kebesaran.

Maka pada 1878, masyarakat mendirikan Omo Nifolasara atau Omo Sebua. Dalam pengukuhannya, ada syair Hoho yang dilantunkan oleh Laowö, ayah dari Saönigeho. Hoho tersebut berbunyi Omo famaedo danö, maiotahögö mazinö, maisalogoi maenamölö.

Menurut cerita yang dituturkan di Desa Bawömataluo, jika seorang tukang selesai membangun Omo Nifolasara, tukang tersebut akan dibunuh dengan alasan supaya tidak ada yang tahu cara membangun rumah kediaman raja Bawömataluo tersebut.

Kepahlawanan Saönigeho

Saönigeho merupakan generasi yang menyaksikan dan mengalami langsung peperangan di Desa Orahili (1840-1863). Sebagai generasi yang terlahir di Desa Orahili, dapat dipastikan Saönigeho sangat mendendam kepada  Belanda.

Akhirnya, Saönigeho yang pada saat itu sudah menjadi Raja Bawömataluo menggalang kekuatan untuk menyerang Belanda (1916) yang pada saat itu sedang melakukan sensus di Desa Hiligeho.

Dari hasil pengintaian pihak Saönigeho, senjata yang dibawa oleh Belanda dikumpulkan di satu rumah, di Desa Hiligeho sehingga pihak Saönigeho menyusun strategi, yaitu dengan menguasai senjata, lalu menghancurkan musuhnya.

Awalnya strategi itu berjalan dengan baik, sampai muncul malapetaka. Seorang tentara Belanda  yang hendak pergi mandi melihat pasukan dari Bawömataluo menuju Desa Hiligeho. Tentara tersebut kemudian lari kembali ke desa dan memberitahukan bahwa ada musuh yang sedang menuju gudang senjata. Meskipun tentara Belanda tersebut jadi korban, tetapi gudang senjata tidak bisa dikuasai. Akhirnya, pada penyerangan pertama ini, pihak Saönigeho berhasil dipukul mundur.

Pada hari yang berbeda, Belanda berniat melakukan konsolidasi penduduk di Desa Bawömataluo. Mereka muncul dari tiga penjuru desa. Dengan sejumlah pasukan, mereka hadir di halaman. Salah seorang komandan tentara Belanda naik ke Omo Nifolasara untuk menjumpai Raja Saönigeho.

Kepada pasukannya, pemimpin tentara Belanda tersebut memberi komando dan aba-aba, bila terdengar bunyi letusan, Desa Bawömataluo harus bumihanguskan. Karena letusan itu berarti Saönigeho tidak mau tunduk. Demi mempertahankan Desa Bawömataluo, akhirnya Saönigeho menyerah dengan beberapa perjanjian, yaitu penghapusan perbudakan, penghapusan memelihara babi di kolong rumah, dan penghapusan penguburan yang disanggah di atas tanah.

Pihak Belanda memberi syarat kepada warga Desa Bawömataluo, bila ingin Saönigeho yang pada saat itu ditahan di Gunungsitoli bebas, warga harus menyelesaikan pembangunan jalan dari Löhö ke Lagundri.
Hal itu memacu warga Desa Bawömataluo untuk segera menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Pembangunan dipimpin oleh Fociako (Solagö Maenamölö), menantu dari Fakhoi, saudara Saönigeho.
Sebelum penyerangan ke Desa Hiligeho (1916) yang memukul kalah pihak Saönigeho, sudah ada pertemuan di antara para pemimpin perjuangan yang selalu dilaksanakan di Bawömataluo. Balöhalu, dari Nias Tengah, Solagö Tanö, dari Hilisimaetanö, dan Saönigeho dari Bawömataluo. Namun, hanya Saönigeho yang melakukan tindakan penyerangan terhadap Belanda.

Sekitar tahun 1980, Saönigeho pernah masuk nominasi sebagai pahlawan Nasional. Bahkan ada buku pelajaran yang pernah memuat kisah peperangan Orahili dan Hiligeho lengkap dengan peran masing-masing orang yang terlibat. Namun, catatan-cacatan tersebut hilang begitu saja.
Waspada Wau, pemangku adat Desa Bawömataluo berharap, suatu saat Saönigeho dinobatkan sebagai pahlawan Nasional.

“Saya sebagai pemangku adat berharap suatu saat Saönigeho yang bergelar Ziliwu Gere dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional,” ujar Waspada Wau saat ditemui di Desa Bawömataluo, Selasa (7/2/2012).
Menurut cucu  Fociako (Solagö Maenamölö) itu, Saönigeho pantas diberi gelar Pahlawan Nasional, mengingat Saönigeho ikut membangun Desa Bawömataluo dan ikut berperang melawan Belanda untuk mempertahankan Desa Bawömataluo. Nama Saönigeho kini diabadikan menjadi nama sebuah jalan di Kota Telukdalam, Nias Selatan. [DESTY HULU]

Tulisan pernah dimuat di www.nias-bangkit.com

1 komentar:

  1. Saya Sangat Senang Membaca Ini, Saya Suka Blog Ini 👍

    BalasHapus