Raih Mutiaramu dan Berjayalah


Tanggal 25 Mei hingga 26 Mei 2012, Sekolah Dasar Swasta RK Mutiara Gunungsitoli, merayakan ulang tahunnya yang ke-50. Setengah abad sudah sekolah yang dipimpin oleh Sr.Bernardine Silalahi, FCJM, ini turut mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya di kepulauan Nias.

Seharusnya peringatan ulang tahun ke-50 SDS RK Mutiara jatuh pada tanggal 1 Agustus 2012, tetapi karena sesuatu hal, perayaan pesta emas digeser pada bulan Mei 2012.

Perjalanan selama 50 tahun bukanlah waktu yang singkat. Berbagai kisah telah terukir. Mulai dari pergantian kepala sekolah, lokasi sekolah yang berpindah-pindah, perubahan kurikulum pada setiap pergantian menteri, hingga peristiwa gempa tektonik pada tahun 2005 yang merobohkan gedung sekolah yang berdiri sejak tahun 1962 itu.

Tantangan terberat juga dihadapi oleh sekolah yang dikelola oleh Yayasan Budi Luhur ini, yaitu bagaimana membentuk sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas.

Bagaimana mendidik orang dari tidak tahu menjadi tahu (learning to know), bagaimana mendidik orang menjadi orang beriman dan bertakwa kepada Tuhan (learning to believe God), bagaimana mendidik anak menjadi diri sendiri ( learning to be), bagaimana mendidik orang bisa hidup bersama orang lain ( learning to live together), dan bagaimana mengarahkan agar anak punya cita-cita untuk bekal hidupnya (learning to do).

Awalnya Hanya Memiliki 29 Murid

Pada tahun 1939, pemerintah kolonial Belanda mengizinkan dua orang misionaris Katolik berkarya di Pulau Nias. Setelah dua tahun berkarya, kedua misionaris tersebut diinternir (ditempatkan), hanya para katekis yang sudah mereka ajari boleh meneruskan karya mereka. Pada waktu kedua, misionaris diinternir, umat Katolik berjumlah 300 jiwa. Ketika mereka kembali, karena sudah tua dan sakit-sakitan, umat Katolik sudah mencapai 3.000 jiwa.

Pada waktu yang bersamaan, terjadi pengusiran para misionaris di China. Hal tersebut menjadi keuntungan tersendiri bagi Pulau Nias. Uskup Gratian Grimm bersama lima misionaris lainnya pindah dari China ke Pulau Nias.

Para misionaris tersebut menyadari bahwa karya mereka berat sebelah karena tidak disertai dan didukung oleh para perempuan, yaitu para suster. Maka, sekitar tahun 1960, para suster dari Yayasan Belaskasih mulai berkarya di Pulau Nias. Awalnya, di Telukdalam, kemudian di Gunungsitoli.

Didorong oleh kebutuhan umat, pada 1 Agustus 1961 dibukalah Sekolah Dasar Swasta RK Mutiara yang berlokasi di asrama Santo Don Bosco yang sekarang, di Jalan Karet, Gunungsitoli.

Pada awal pendiriannya, SDS RK Mutiara yang dipimpin oleh Sr. Aquine Bookhorst, SCMM, hanya memiliki murid sebanyak 29 orang. Pada 1 Agustus 1962, jumlah murid menjadi 100 orang, dan terus bertambah setiap tahunnya.

Pada tahun 1966, SDS RK Mutiara sudah memiliki 10 ruang kelas dan berhasil meluluskan siswa-siswi pertama sebanyak 17 orang. Hingga saat ini, sekolah ini memiliki 19 ruang kelas dengan jumlah murid sebanyak 710 orang. Sr. Aquine Bookhorst, SCMM, menjabat sebagai Kepala Sekolah selama tiga tahun, kemudian digantikan oleh Darius Tötönafö Harefa.

Sejak berdirinya SDS RK Mutiara hingga tahun 1970, menurut informasi dari Fr. Yan Koppens CMM, SDS RK Mutiara tidak pernah dimiliki oleh Yayasan Belaskasih (Tarekat SCMM), melainkan di bawah Yayasan Karya Rukun  yang berpusat di Sibolga dan milik prefektur apostolik Sibolga.

Pada Agustus 1994, Yayasan Karya Rukun di Sibolga memekarkan diri sehingga perwakilan yayasan yang berada di Gunung sitoli menjadi yayasan tersendiri. Yayasan baru ini diberi nama  Yayasan Budi Luhur, yang pada saat itu dipimpin oleh Johanes Gho.

Pada waktu pengurus terpilih menerima tugas sebagai pengurus yayasan, kondisi ruangan  dan lokasi SDS RK Mutiara  sudah sangat memprihatinkan. Kalau hujan turun, halaman sekolah becek, dan dinding kayunya juga mulai keropos. Lokasi SDS RK Mutiara  yang kondisi seperti ini berada pada Lokasi STP Dian Mandala sekarang.

Keprihatinan melihat gedung dan lokasi yang sering becek, sangat memotivasi hati untuk mewujudkan harapan Mgr Anicetus Sinaga ini. Untuk efektivitas cara kerja, pengurus memikirkan bagaimana sistem kerja yang mampu mewujudkan harapan tersebut.Rapat perdana pengurus yayasan dengan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga diadakan pada tanggal 23 September 1994, beliau menyatakan keprihatinan akan situasi gedung dan lokasi SDS RK Mutiara. Berangkat dari keprihatinan itu, beliau bersedia memberi bantuan untuk pembangunan gedung baru dengan syarat bahwa pengurus yayasan dapat mengumpulkan dana sebesar Rp 75 juta dalam jangka waktu tiga tahun.
 
Dengan semangat membara dan percaya akan penyelenggaraan ilahi, pengurus terus-menerus berupaya  agar harapan  membangun  gedung yang baru untuk SDS RK Mutiara dapat  terwujud. Walaupun dana belum cukup untuk membangun gedung yang direncanakan berbiaya Rp 510 juta, para pengurus memberanikan diri membangun gedung tersebut.

Apa yang didambakan sungguh terjadi, pada akhir tahun 1996, prokur Kapusin Jerman Br. Efraem dan provinsial Kapusin Jerman datang ke Nias. Br. Efraem bersama provinsial Jerman, memberi bantuan kepada Yayasan Budi Luhur sebesar Rp 200 juta.

Dengan dana yang telah dikumpulkan selama lebih dari dua tahun, ditambah bantuan kapusin dan dana dana donatur yang masih tetap diharapkan, pengurus yayasan memberanikan diri untuk memulai membangun SDS RK Mutiara, dan masih berharap  jika ada kekurangan  nantinya  akan diminta dari Keuskupan. Pada saat itu, yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SDS RK Mutiara adalah Siduhu Telaumbanua.

Karena jumlah murid  semakin bertambah, maka pengurus yayasan merencanakan gedung yang akan dibangun berlantai tiga. Pada 31 Maret 1997 diadakan  peletakan batu pertama dan diharapkan pada Juli 1998 gedung baru sudah akan dipergunakan.

Pada Juli 1998, gedung baru berlantai tiga sudah siap dipakai, dan akhirnya proses kegiatan belajar mengajar pada tahun ajaran tersebut telah dilaksanakan di gedung dan lokasi yang baru. Selama 7 tahun,  gedung tersebut digunakan untuk proses kegiatan belajar mengajar.

Gempa tektonik yang melanda Nias pada tanggal 28 Maret 2005 merobohkan gedung berlantai tiga tersebut. Lantai satu turun dan dan meskipun 2 lantai ada tapi rusak parah.

Setelah gempa kegiatan belajar-mengajar kembali ke gedung dan lokasi awal, yakni di lokasi STP Dian Mandala  yang ada sekarang (gedung dan lokasi lama SDS RK Mutiara).

Pada tahun 2005 setelah gempa, Kiwanis Internasional datang ke Nias yang dikoordinasi oleh Doni Angkasa, seorang kontraktor dari Jakarta. Berkat kehadiran organisasi Kiwanis Internasional tersebut, pada September 2005 diadakan peletakan batu pertama pembangunan SDS RK Mutiara. Gedung yang dibangun oleh Kiwanis Internasional berlantai dua , seperti yang kita lihat sekarang ini. Pada tanggal 16 Agustus 2006, Kiwanis Internasional menyerahkan gedung baru kepada  Yayasan Budi Bakti di Gunungsitoli.

Raihlah Mutiaramu dan Berjayalah

Mutiara itu indah dan mahal harganya. Kita tahu bagaimana proses terbentuknya satu butir mutiara. Mutiara tebentuk dari pasir yang masuk ke dalam tiram. Saat berada di dalam tiram, pasir itu sangat mengganggu dan menyakitkan bagi tiram. Oleh sebab itu bagian dari tubuh tiram akan mengeluarkan air mata yang kemudian mengental dan mengeras di sekeliling butir pasir itu. Air mata yang mengental di sekeliling butir pasir itu pun menjadi sebutir mutiara yang indah. Untuk mendapatkan mutiara yang indah dan mahal, orang harus menyelam ke dasar laut yang dalam.

Sesuai dengan namanya, sekolah yang sudah berdiri selama 50 tahun ini telah menunjukkan keindahan dan mutunya seperti mutiara. Keindahan dan mutu itu tidak datang begitu saja, tetapi merupakan kerja keras dan pengorbanan para pendidik dan pengelola sekolah.

Seperti rasa sakit dan derita yang dialami olah tiram dan kerja keras para penyelam mutiara, keindahan dan mutu sekolah ini tidak terletak pada keindahan dan kekokohan gedungnya, tetapi pada guru-guru yang berpengalaman, dedikatif dan disiplin, sehingga dapat mendidik dan membentuk murid-murid yang rajin belajar dan pandai.

Melalui perayaan pesta emasnya, hendaklah sekolah yang memiliki visi “Terwujudnya sekolah sukses, adil bermartabat, mempersiapkan generasi muda menyongsong masa depan yang penuh harapan” ini semakin berperan bukan hanya membentuk murid-murid yang pandai, melainkan juga sebagai media pewartaan kabar gembira sehingga anak-anak dapat mengalami keselamatan

Dengan tema pesta emas 50 tahun berdirinya SDS RK Mutiara “Raihlah Mutiaramu dan Berjayalah” diharapkan SDS RK Mutiara semakin meningkatkan semangat pengabdiannya dalam menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kepala Sekolah SDS RK Mutiara Sr.Bernardine Silalahi, FCJM, berharap adanya peningkatan mutu pendidikan sehingga menciptakan sistem pendidikan tepercaya di Gunungsitoli.

“Semoga SD Mutiara makin berjaya di kemudian hari. Terciptanya  hubungan yang baik antara orang tua dan pihak sekolah, dengan saling menanamkan sikap pengertian melalui penerapan disiplin. Kelak dapat meningkatkan tahap-tahap peningkatan mutu pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar untuk terciptanya sistem pendidikan terpercaya di Gunungsitoli,” ujar Sr.Bernardine saat ditemui di SDS RK Mutiara, Jalan Karet, Gunungsitoli, Rabu (30/5/2012).

Sr.Bernardine juga mengatakan, pada tanggal 4 Juni 2012 mendatang, dua siswa SDS RK Mutiara, yakni Martha Christin Sulistyani Zalukhu dan Shane Jecelyn Elektakuria Bate’e, akan mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat Provinsi.
“Semoga mereka berhasil di sana, membawa nama baik SD Mutiara, sekaligus sebagai hadiah pesta emas SD Mutiara” ujarnya. [DESTY HULU]

Tulisan pernah dimuat di www.nias-bangkit.com

Mengembalikan Kemegahan “Omo Nifolasara” Hilimondregeraya

 

“Satu desa hilang bila tidak ada rumah adat.” Demikian ungkapan keresahan dari seorang Pastor Johannes Maria Hämmerle, Direktur Yayasan Pusaka Nias. Keresahan Pastor Johannes  seharusnya menjadi keresahan setiap orang di Pulau Nias yang mencintai budayanya sehingga penjualan sebuah “Omo Nifolasara” atau “Omo Sebua” (rumah besar) tidak akan terulang lagi.

Dikisahkan Pastor Johannes, pada tahun 1927 sebagian dari omo sebua di Desa Hilimondregeraya dijual kepada Dr. A.G. Moller (1923–1927), seorang dokter asal Denmark, yang bertugas di bidang kesehatan pada saat pemerintahan Kolonial Belanda di Nias. Saat itu kondisi rumah adat yang dibangun pada 1860 tersebut sangat buruk dan hampir ambruk karena pemilik tidak sanggup memelihara. Putri pemilik rumah yang bernama Suri Sarumaha juga dinikahi Dr. A.G. Moller dan diboyong ke Denmark.

Dr. A.G. Moller hanya membeli bagian depan rumah yang ada lukisannya. Beberapa benda juga ikut dibawa, seperti telau lasara, khölö-khölö, dan patung-patung.  Semua warisan budaya yang seharusnya bisa kita nikmati saat ini kini sudah menjadi milik Museum of Copenhagen, Denmark, hingga sekarang.
Meskipun demikian, kita semua masyarakat Nias patut bersyukur. Sebab, kita tidak perlu lagi datang ke Denmark untuk menyaksikan Omo Nifolasara Hilimondregeraya yang asli. Replikanya kini sudah bisa kita nikmati.

Pembangunan Replika “Omo Nifolasara”

Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan kecintaan masyarakat Nias atas budayanya sendiri, akhirnya replica Omo Nifolasara di Hilimondregeraya pun dibuat.

Seperti kita ketahui, hampir setiap desa adat di Nias Selatan memiliki omo nifolasara atau Omo Sebua. Biasanya ukurannya berbeda dengan rumah adat yang ada di sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tersebut adalah milik seorang raja atau bangsawan. Omo sebua juga menunjukkan identitas sebuah desa.
Omo Sebua pertama di Desa Hilimondregeraya dibangun oleh Siwa Lowalani, anak dari pendiri Desa Hilimondregeraya, Tönöni Si’ulu.

Desa Hilimondregeraya, yang berjarak 8 kilometer dari kota Telukdalam, Nias Selatan, dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua dan empat, kini tidak lagi “malu-malu” seperti dulu, yang tanpa Omo Sebua. Kegagahan Omo Sebua Hilimondregeraya pun telah kembali. Anak cucu dan generasi berikutnya setidaknya terus mengenal sejarah nenek moyangnya.

Omo Nifolasara Hilimondregeraya yang dibawa ke Denmark | Foto: http://nias.natmus.dk
Pembangunan replika Omo Nifolasara di Desa Hilimondrege Raya bermula dari kesadaran masyarakat setempat bahwa cagar budaya ini harus diselamatkan dan dipertahankan. Ada kemauan yang sama di antara semua masyarakat desa.

Sikap ini tentu kita syukuri dan terus kita pertahankan untuk menyelamatkan berbagai situs budaya Nias yang masih belum tertangani dengan baik. Kesamaan visi itulah yang membuat semua warga bersepakat untuk mengembalikan kembali kemegahan Omo Nifolasara di Desa Hilimondregeraya ini. Dengan begitu, ada usaha dan harmoni dalam berjuang agar apa yang diinginkan tercapai.

Gerakan pembangunan kembali Omo Nifolasara Hilimondregeraya pun dicanangkan sejak 28 Agustus 2010. Sejak itu, masyarakat bahu-membahu membangun replika rumah adat yang sudah dibawa oleh Dr.A.G.Moller itu ke Denmark.

Berbagai usaha tiada mengenal lelah pun dijalankan. Perjuangan mereka didukung oleh Yayasan Pusaka Nias, sebuah yayasan nirlaba yang peduli dengan pendokumentasian dan pelestarian di Pulau Nias. Yayasan Pusaka Nias yang menggandeng Yayasan Tirto Utomo memulai pembangunan rumah adat dengan dana sebesar Rp 480 juta ini.

Dana sebesar Rp 480 juta berasal dari Yayasan Tirto Utomo. Seperti ditegaskan supervisor pembangunan omo sebua Iskar Gulö. “Dana sebesar Rp 480 juta itu merupakan sumbangan dari Yayasan Tirto Utomo, selebihnya berasal hasil swadaya masyarakat desa,” ujarnya.

NBC, yang pada saat peresmian selesainya pembangunan Omo Sebua Hilimondregeraya ini pun mendapatkan penjelasan soal sulitnya membangun kembali rumah besar ini, dari kepala tukang Saniaga Duha. “Salah satu hal terpenting dalam pembangunan sebuah rumah adat adalah pemilihan jenis kayu. Ada beberapa jenis kayu yang digunakan dalam pembangunan rumah adat yang dikerjakan oleh 12 tukang tersebut, yakni afoa, simandraölö, siholi, manaŵadanő, mosibaŵatalio, osala, berua, simalambuo, dan ma’usö,” ujar Saniaga Duha. Kayu-kayu yang sebagian besar merupakan kayu endemik Nias ini berasal dari beberapa daerah di Pulau Nias.

Berubah Nama

Guna menghormati dan mengenang bantuan yang disalurkan oleh Yayasan Tirto dalam pembangunan kembali Omo Sebua Hilimondregeraya, nama rumah adat ini pun berubah nama menjadi “Omo Sebua Tirto Fondregeraya”. Pemberian nama ini dilakukan pada 4 Mei 2012, atas kesepakatan semua masyarakat Desa Hilimondregeraya.

Sebelum diresmikan, masyarakat menggelar proses Pembelian Rumah Adat. Dalam prosesi adat tersebut, Tuha Satarö berperan sebagai pembeli rumah berjalan menuju omo sebua diiringi dengan tari-tarian. Setibanya di halaman rumah, Tuha Satarö mengajukan beberapa pertanyaan kepada penjual rumah. Salah satu pertanyaannya, apakah rumah tersebut membawa kebahagiaan dan rezeki.

Prosesi ini tentu menyampaikan pesan moral bahwa rumah sebua ini harus tetap terjaga agar disukai orang. Dengan begitu, akan datang banyak lagi “pembeli” yang tidak lain adalah para wisatawan yang ingin melihat kemegahan budaya leluhur kita.

Sementara itu, selain pencantuman nama pada nama rumah adat, Lisa Tirto Utomo, Ketua Yayasan Tirto Utomo, dan Pastor Johannes Maria Hämmerle juga mendapat gelar kebangsawanan. Lisa Tirto mendapatk gelar “Sorai Ana’a” dan Pastor Johannes Maria Hämmerle dianugerahi gelar “Tuha Samaeri Nahönö”.

Dengan selesainya pembangunan Omo Sebua ini, pemilik rumah Ama Masioho Harita (62), mengaku sangat senang.  Ama Masioho merupakan generasi ke-5 yang menempati rumah adat tersebut. “Saya merasa senang karena Yayasan Tirto Utomo telah membangun rumah ini. Saya berharap rumah ini ke depan bisa menjadi tempat wisata,” ujar Ama Masioho.

Pelestarian warisan budaya adalah tugas kita bersama. Bila kita hanya menunggu sampai ada orang lain yang mengulurkan tangan, cepat atau lambat, kita akan kehilangan warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Kesadaran masyarakat Desa Hilimondregeraya untuk kembali membangun omo sebua menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai peduli akan pentingnya keberadaan sebuah omo sebua di sebuah desa. Sikap ini perlu kita internalisasi dalam diri kita sebagai orang Nias agar kita semakin mencintai budaya kita sendiri.
Bila pada akhirnya ada pihak yang mau membantu, hal itu karena masyarakat telah lebih dulu menunjukkan kesungguhannya dalam membangun dan melestarikan warisan budaya yang kelak akan memasyhurkan nama Desa Hilimondregeraya.

Omo Nifolasara Hilimondregeraya kini sudah bersolek dan siap menerima kedatangan parawisatawan.  Terima kasih kepada Ibu Lisa “Sorai Ana’a” Tirto Utomo (Yayasan Tirto Utomo) dan Bapak Johannes Maria Hämmerle “Tuha Samaeri Nahönö”(Yayasan Pusaka Nias).  [DESTY HULU/SEIMAN LASE]

Tulisan pernah dimuat di www.nias-bangkit.com