Para pemerhati hingga pelaku industri
pariwisata angkat bicara. Lagi-lagi pemerintah daerah menjadi sasaran
empuk untuk menumpahkan kekesalan. Pemerintah daerah dituding tidak
peduli pada sektor yang menjadi andalan daerah berpenduduk 365.000 jiwa
itu.
Uneg-uneg yang mengendap bertahun-tahun
lamanya ditumpahkan saat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias
Selatan mengajak para pemerhati dan pelaku industri pariwisata untuk
berdiskusi. Namun para pelaku pariwisata di Nias menyambut positif
langkah dinas kebudayaan dan pariwisata yang ingin menghidupkan kembali
pariwisata di Nias.
“Jadi ada harapan baru, lebih-lebih
kepala dinas baru begitu semangat. Titik terang itu sudah mulai
kelihatan. Memang terus terang kita kaget, karena seakan-akan dinas
pariwisata hidup kembali,” tutur Herman Waruwu, pengelola Pantai Baloho
Central Beach dalam diskusi tersebut.
Lebih lanjut Herman berharap, ada
pertemuan rutin antara pemerintah daerah dengan pemerhati dan pelaku
industri pariwisata, sehingga bisa mencapai sebuah kesepakatan, dan yang
terpenting, ada tindakan nyata yang dilakukan.
Dari Lampu Jalan Hingga Payung Hukum
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata punya pekerjaan rumah yang cukup banyak. Berbagai kritik dan saran dari para pemerhati dan pelaku industri wisata terus mengalir pada dinas yang kini dipimpin oleh Faböwösa Laia itu. Penerangan lampu jalan menjadi salah satu hal yang mendesak. Hal ini disebabkan sepanjang jalan menuju objek wisata Lagundri dan Sorake, bila malam hari suasana sepanjang jalan sangat gelap gulita.
Selain pemasangan lampu jalan,
pembangunan jalan setapak di beberapa titik di area pantai Sorake juga
jadi perhatian. Hal ini untuk memudahkan akses para peselancar ke lokasi
selancar tanpa harus kesakitan karena menginjak karang. Pembuatan jalan
setapak juga memudahkan proses evakuasi jika ada kecelakaan yang
terjadi di laut.
Para pemerhati pariwisata juga
menyarankan agar ada payung hukum dalam penetapan lokasi objek wisata,
agar ada perlindungan terhadap pasir di sekitar objek wisata pantai,
tata ruang, dan perlindungan terhadap potensi yang ada. Bahkan, mereka
menyarankan agar penambang bahan galian golongan C yang selama ini
semakin meresahkan diberikan shock therapy.
Kapal-kapal pariwisata dari luar daerah
juga perlu ditertibkan. Selama ini, kapal-kapal tersebut dapat bebas
keluar masuk tanpa memberikan kontribusi apa pun. Dengan membangun
dermaga-dermaga labuh di sekitar objek wisata pantai, pengelola dermaga
bisa menarik uang retribusi dari kapal-kapal tersebut Ini bisa menjadi sum-ber PAD.
Manajemen tatakelola pariwisata juga
harus dibenahi. Seharusnya ada stardar pelayanan hotel dan restoran,
sehingga wisatawan yang berkunjung betah dan merasa nyaman. Setiap
karyawan harus tahu bagaimana seharusnya menyajikan sesuatu dengan baik,
dan menyenangkan tamu. Hal bisa ini bisa diwujudkan melalui pelatihan
pramusaji, pramuwisata, dan memberi pendidikan kepada masyarakat agar
menjadi masyarakat yang sadar wisata.
Paket wisata dengan penjadwalan yang
rutin juga dapat menjadi salah satu daya tarik yang bisa diterapkan.
Menyediakan fasilitas Wi-Fi di objek-objek wisata unggulan juga menjadi
pertimbangan. Bahkan ada yang menyarankan agar beberapa kamera dipasang
di pantai Sorake, sehingga seluruh dunia bisa menonton siaran langsung
selancar melalui video streaming selama 24 jam non stop.
Pembentukan organisasi, seperti
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Association of the
Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA), Asosiasi Profesional
Pariwisata Indonesia (ASPPI), juga dibutuhkan, supaya ada koneksitas
antara pemerintah daerah, provinsi, dan pusat.
Tiga Pilar Harus Dikuatkan
Dalam program prioritas daerah Nias Selatan, bidang pariwisata berada pada urutan keempat setelah bidang pendidikan, kesehatan, dan tata ruang kota. “Pengembangan pariwisata bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah. Tiga pilar yang harus dikuatkan di sana, yaitu pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha,” tutur Faböwösa Laia, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan.
Menurut Faböwösa, perilaku masyarakat di
sekitar objek wisata juga berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata,
karena apapun sentuhan pariwisata yang mau dilakukan, kalau perilaku
manusianya tidak terbuka terhadap pengembangan pariwisata, maka sampai
kapan pun tidak akan berkembang. Itu salah satu hal sederhana yang harus
dibenahi.
Karena keterbatasan anggaran menjadi
salah satu kendala dalam mewujudkan semua program dalam waktu bersamaan,
maka pengembangan pariwisata cukup dimulai dari hal-hal yang kecil.
“Tidak perlu secara keseluruhan, cukup
dengan cara bertahap. Contohnya, menghadirkan menu-menu pariwisata di
objek-objek yang menjadi unggulan, seperti di pantai Lagundri, pantai
Sorake, Desa Adat Bawömataluo, dan sekarang muncul idola baru, pantai
Baloho Central Beach,” ujar Faböwösa Laia.
Faböwösa melanjutkan, roh pariwisata di
Nias Selatan ini sudah pernah hadir. Daerah Lagundri, Sorake itu pernah
banjir wisatawan asing. “Roh itu, kita harus jujur mengatakan sudah
hilang. Mudah-mudahan dengan kebersamaan kita semua, pelan tapi pasti,
kita akan mengem¬balikan roh pariwisata itu,” katanya.
Sementara salah seorang mahasiswa STIE
Nias Selatan Jurusan Manajemen Harapan Bawaulu mengatakan, pariwisata
Nias Selatan saat ini memang semakin berkembang. “Hal ini dibuktikan
dengan adanya perhatian pemerintah daerah da¬lam penyediaan sarana dan
prasarana,” ujar Harapan.
Dengan komitmen dari semua pihak, baik
pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha, maka roh pariwisata akan
kembali hadir di Nias Selatan, dan siap menghipnotis dunia. [Desty Hulu]
Tulisan pernah dimuat di NiasPost.Com