Mengembalikan Roh Pariwisata di Nias Selatan

            
Di era 70-an hingga 80-an, roh pariwisata pernah hadir di Nias Selatan. Pesonanya mampu menghipnotis dunia hingga kawasan objek wisata dibanjiri wisatawan asing. Namun seiring berjalannya waktu, roh yang pernah mengharumkan nama Nias Selatan itu, menghilang entah kemana.

Para pemerhati hingga pelaku industri pariwisata angkat bicara. Lagi-lagi pemerintah daerah menjadi sasaran empuk untuk menumpahkan kekesalan. Pemerintah daerah dituding tidak peduli pada sektor yang menjadi andalan daerah berpenduduk 365.000 jiwa itu.

Uneg-uneg yang mengendap bertahun-tahun lamanya ditumpahkan saat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan mengajak para pemerhati dan pelaku industri pariwisata untuk berdiskusi. Namun para pelaku pariwisata di Nias menyambut positif langkah dinas kebudayaan dan pariwisata yang ingin menghidupkan kembali pariwisata di Nias.

“Jadi ada harapan baru, lebih-lebih kepala dinas baru begitu semangat. Titik terang itu sudah mulai kelihatan. Memang terus terang kita kaget, karena seakan-akan dinas pariwisata hidup kembali,” tutur Herman Waruwu, pengelola Pantai Baloho Central Beach dalam diskusi tersebut.

Lebih lanjut Herman berharap, ada pertemuan rutin antara pemerintah daerah dengan pemerhati dan pelaku industri pariwisata, sehingga bisa mencapai sebuah kesepakatan, dan yang terpenting, ada tindakan nyata yang dilakukan.

Dari Lampu Jalan Hingga Payung Hukum

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata punya pekerjaan rumah yang cukup banyak. Berbagai kritik dan saran dari para pemerhati dan pelaku industri wisata terus mengalir pada dinas yang kini dipimpin oleh Faböwösa Laia itu. Penerangan lampu jalan menjadi salah satu hal yang mendesak. Hal ini disebabkan sepanjang jalan menuju objek wisata Lagundri dan Sorake, bila malam hari suasana sepanjang jalan sangat gelap gulita.

Selain pemasangan lampu jalan, pembangunan jalan setapak di beberapa titik di area pantai Sorake juga jadi perhatian. Hal ini untuk memudahkan akses para peselancar ke lokasi selancar tanpa harus kesakitan karena menginjak karang. Pembuatan jalan setapak juga memudahkan proses evakuasi jika ada kecelakaan yang terjadi di laut.

Para pemerhati pariwisata juga menyarankan agar ada payung hukum dalam penetapan lokasi objek wisata, agar ada perlindungan terhadap pasir di sekitar objek wisata pantai, tata ruang, dan perlindungan terhadap potensi yang ada. Bahkan, mereka menyarankan agar penambang bahan galian golongan C yang selama ini semakin meresahkan diberikan shock therapy.

Kapal-kapal pariwisata dari luar daerah juga perlu ditertibkan. Selama ini, kapal-kapal tersebut dapat bebas keluar masuk tanpa memberikan kontribusi apa pun. Dengan membangun dermaga-dermaga labuh di sekitar objek wisata pantai, pengelola dermaga bisa menarik uang retribusi dari kapal-kapal tersebut Ini bisa menjadi sum-ber PAD.

Manajemen tatakelola pariwisata juga harus dibenahi. Seharusnya ada stardar pelayanan hotel dan restoran, sehingga wisatawan yang berkunjung betah dan merasa nyaman. Setiap karyawan harus tahu bagaimana seharusnya menyajikan sesuatu dengan baik, dan menyenangkan tamu. Hal bisa ini bisa diwujudkan melalui pelatihan pramusaji, pramuwisata, dan memberi pendidikan kepada masyarakat agar menjadi masyarakat yang sadar wisata. 

Paket wisata dengan penjadwalan yang rutin juga dapat menjadi salah satu daya tarik yang bisa diterapkan. Menyediakan fasilitas Wi-Fi di objek-objek wisata unggulan juga menjadi pertimbangan. Bahkan ada yang menyarankan agar beberapa kamera dipasang di pantai Sorake, sehingga seluruh dunia bisa menonton siaran langsung selancar melalui video streaming selama 24 jam non stop.

Pembentukan organisasi, seperti Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA), Asosiasi Profesional Pariwisata Indonesia (ASPPI), juga dibutuhkan, supaya ada koneksitas antara pemerintah daerah, provinsi, dan pusat.

Tiga Pilar Harus Dikuatkan
 
Dalam program prioritas daerah Nias Selatan, bidang pariwisata berada pada urutan keempat setelah bidang pendidikan, kesehatan, dan tata ruang kota. “Pengembangan pariwisata bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah. Tiga pilar yang harus dikuatkan di sana, yaitu pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha,” tutur Faböwösa Laia, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias Selatan.

Menurut Faböwösa, perilaku masyarakat di sekitar objek wisata juga berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata, karena apapun sentuhan pariwisata yang mau dilakukan, kalau perilaku manusianya tidak terbuka terhadap pengembangan pariwisata, maka sampai kapan pun tidak akan berkembang. Itu salah satu hal sederhana yang harus dibenahi.

Karena keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan semua program dalam waktu bersamaan, maka pengembangan pariwisata cukup dimulai dari hal-hal yang kecil.

“Tidak perlu secara keseluruhan, cukup dengan cara bertahap. Contohnya, menghadirkan menu-menu pariwisata di objek-objek yang menjadi unggulan, seperti di pantai Lagundri, pantai Sorake, Desa Adat Bawömataluo, dan sekarang muncul idola baru, pantai Baloho Central Beach,” ujar Faböwösa Laia.

Faböwösa melanjutkan, roh pariwisata di Nias Selatan ini sudah pernah hadir. Daerah Lagundri, Sorake itu pernah banjir wisatawan asing. “Roh itu, kita harus jujur mengatakan sudah hilang. Mudah-mudahan dengan kebersamaan kita semua, pelan tapi pasti, kita akan mengem¬balikan roh pariwisata itu,” katanya.

Sementara salah seorang mahasiswa STIE Nias Selatan Jurusan Manajemen Harapan Bawaulu mengatakan, pariwisata Nias Selatan saat ini memang semakin berkembang. “Hal ini dibuktikan dengan adanya perhatian pemerintah daerah da¬lam penyediaan sarana dan prasarana,” ujar Harapan.

Dengan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah daerah, masyarakat, dan pengusaha, maka roh pariwisata akan kembali hadir di Nias Selatan, dan siap menghipnotis dunia. [Desty Hulu]

Tulisan pernah dimuat di NiasPost.Com