“Slamat
siang. Jam brp ada waktu utk ketemu? Sy tunggu. Tq.” Demikian isi pesan yang dikirim
kepada NBC saat menjawab konfirmasi yang disampaikan NBC untuk janji wawancara
beberapa waktu lalu. Sepintas pesan tersebut terlihat biasa saja, tetapi
bagaimana bila pesan tersebut dikirim oleh seorang tunanetra?
Nama Constan
Giawa (41) pasti sudah tidak asing lagi di telinga penikmat musik daerah Nias.
Pemilik Mohili Project ini dikenal sebagai pencipta lagu sekaligus produser
yang sudah melahirkan penyanyi-penyanyi berbakat. Sederet album yang dirilisnya
selalu mendapat tempat di hati masyarakat.
Melihat
karyanya yang tidak bisa dipandang sebelah mata, pasti banyak yang tidak
menduga, pria kelahiran 30 April 1971 ini ternyata seorang penyandang
tunanetra. Sosok Rendah hati, tidak mudah menyerah pada keadaan, selalu berpikiran
positif, dan terus berkarya itulah sosok Constan Giawa yang inspiratif.
Menderita Retinitis
Pigmentosa
Sejak duduk
di bangku SMP, Constan sudah mengalami gangguan pada matanya. Setiap kali
memasuki sebuah ruangan, dia memerlukan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi
dari tempat terang ke tempat gelap.
Setelah
kuliah, ternyata gangguan tersebut semakin parah. Lulusan Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha Bandung, Jawa Barat, ini, kemudian memberanikan
diri untuk berkonsultasi pada seorang dokter spesialis retina.
“Saya
orangnya easy going, jadi tidak terlalu ambil pusing saat dokter
menjatuhkan vonis,” ujarnya saat ditanya perasaannya mendengar vonis dokter. Retinitis
pigmentosa yaitu suatu penyakit mata degeneratif, di mana penderitanya mengalami
kemunduran yang progresif pada retina yang memengaruhi penglihatan pada malam
hari dan penglihatan tepi yang pada akhirnya bisa menyebabkan kebutaan.
Tidak puas
dengan hasil diagnosis dokter tersebut setelah memiliki tabungan yang cukup,
Constan berangkat ke Singapura untuk kembali berobat. Namun, hasilnya tetap
sama, dia menderita penyakit yang diidap oleh 1 dari 4.000 orang di seluruh
dunia itu. Tahun 1998, setahun setelah kepulangannya dari Singapura, dia
mengalami kebutaan total.
Kenyataan
ini harus diterima oleh seorang Constan. Namun, bagi dia, menjadi buta bukanlah
kiamat yang harus dia tangisi dan frustrasi karenanya. Ia tetap tegar, sikap
selalu merespons baik ia terapkan dalam “hidup baru”-nya.
Lulus
kuliah, pria yang pernah bercita-cita menjadi sutradara ini menjadi aktivis.
Berkampanye memperjuangkan hak-hak penyandang cacat dan penderita HIV/AIDS.
“Menjadi buta bukan berarti kiamat, cepat atau lambat Tuhan akan memberi
kemudahan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya,” ujar pria multitalenta
ini.
Keyakinannya
terbukti. Suatu hari seseorang mengabarkan kepadanya tentang program yang bisa
dimasukkan ke dalam telepon seluler dan komputer. Program tersebut adalah
perangkat lunak Talks untuk telepon seluler dan Job Access With Speech untuk
komputer.
Dengan
cekatan, Constan menunjukkan cara kerja perangkat lunak Talks yang sudah
ditanamkan di telepon seluler miliknya. Setiap pesan yang masuk akan
dibaca oleh perangkat lunak itu. Lalu, Constan, yang hafal susunan keypad
membalas juga dengan panduan suara.
Dengan
demikian, Constan tidak mengalami kesulitan untuk berkomunikasi. Bahkan, nama
Constan dalam dunia maya, terutama di jejaring sosial Facebook, cukup dikenal.
Sebuah grup di Facebook pun ia prakarsai untuk berdiskusi soal budaya tari khas
Nias, maena.
Tidak hanya
itu, suami dari Yusniwati Ndruru ini pun aktif berdiskusi membicarakan hal apa
saja apalagi tentang musik yang sudah menjadi hobinya. Ia sama sekali tidak
mengalami masalah dalam mengoperasikan komputer dan telepon selulernya.
Mohili
Project
Kecintaannya
pada dunia musik menggiringnya kembali ke kampung halaman. Tahun 2001, ayah
satu anak ini ini mulai merilis lagu-lagu daerah Nias.
Constan yang
mengaku fanatik dengan bahasa Nias ini mengatakan kepulangannya ke Nias untuk
menggairahkan kembali musik daerahnya. “Saya rindu suatu saat nanti ada ono
niha yang nyanyi di Jakarta,” begitu impiannya.
Kerinduannya
ia buktikan dengan karya. Setidaknya ada 18 album ditelurkannya lewat grup
musiknya Mohili Project. Album itu, antara lain, Mohili Tafari (2001), Mohili
Ahani (2001), Mohili Ataya (2002), Megai Trio (2002), Tasuno
(2003), Harazaki (2003), Mohili Gego (2003), Tice (2004), Mohili
Lauru (2004), Mohili Bermazmur (2004), Maena Ni’owalu (2005),
Ono Alawe (2005), Mohili Ga’a (2006), Li Ndraono (2007), Lada
Limi (2008), Futi-futi (2008), Mohili Hana (2009), Maena
Amaedola (2011).
Apa yang
didapatnya dan dicapainya kini tak serta-merta karena keberhasilannya sendri.
Ia mengaku, dukungan penuh dari keluargalah yang mengantarkannya menjadi seorang
pengusaha sukses. Selain industri musik yang sudah memopulerkan namanya,
beberapa usaha lainnya juga mendulang sukses. Mulai dari usaha air minum isi
ulang, kantin, dan warung internet.
Constan
dengan kondisinya kini tak bergantung pada orang lain untuk menjalankan roda
keluarganya. Bisa dibilang, sebagai kepala keluarga dia sempurna. Namun, semua
itu tidak membuatnya menjadi sombong. Ia tetap rendah hati. “Saya rindu menjadi
berkat bagi orang lain, terutama bagi para penyandang cacat yang ada di Pulau
Nias,” tuturnya.
Salah satu
wujud nyata perhatiannya pada penyandang cacat, dia pernah menghadiahi sebuah talking
book, yaitu rekaman buku dalam bentuk audio cassette berjudul Laskar
Pelangi kepada seseorang bernama Ernius Fakhö, yang berdomisili di Desa
Sogaeadu, Kecamatan Gidö, Kabupaten Nias.
Bagi dia,
hidup ini haruslah berarti. Berarti bagi orang lain tidak cukup hanya dengan
kata-kata, tetapi harus diikuti dengan perbuatan. Dengan segala keterbatasan
dan juga kelebihannya, Constan menjalani hidup untuk selalu berarti bagi orang
lain, utamanya bagi sesama penyandang tunanetra.
Bagi setiap
penyandang cacat yang ada di seluruh penjuru Nias, Constan berpesan bahwa
menjadi cacat bukan berarti kiamat, masih ada harapan asal mau berusaha dan
tetap semangat. Ungkapan ini tentu tak sekadar retorika belaka. Constan telah
membuktikannya. Ia tak pernah menyerah dengan kondisinya.
Bahkan, tekadnya
untuk menjadi berkat sudah direnggutnya. “Ini semua karena anugerah-Nya,”
ujarnya.
Penyandang
tunanetra di mana pun, janganlah berkecil hati. Bila Constan bisa, Anda pun
juga bisa. Kini tinggal bagaimana Anda merespons segala sesuatu dengan baik,
maka hasilnya pun baik. Jiwa terus belajar harus terus dikobarkan.
Pada salah
satu puisinya yang ia tulis di Facebook, Constan menyebut bahwa apa yang ada di
pikirannya ia tulis saja. Nanti setelah selesai tinggal disusun ulang. “Gampang
bukan?” Begitu ia menjawab teman FB-nya yang bertanya, bagaimana ia bisa
membuat sebuah puisi yang begitu indah.
Diakui
Constan, perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat berkebutuhan
khusus, misalnya tunanetra, masih rendah. Ia berharap agar pemerintah mau
peduli pada penyandang cacat sehingga bisa
menjadi pribadi yang mandiri dan
mampu mengembangkan potensinya dengan maksimal. [DESTY HULU]
Biodata
Singkat
·
Nama lengkap: Constan Giawa
·
Tempat, tanggal lahir: Gunungsitoli, 30 April 1971
·
Istri : Yusniwati Nduru
·
Anak : Songsong Haga Giawa
·
Pendidikan :
1. SD Swasta
Mutiara Gunungsitoli (1983)
2. SMP Swasta
Bunga Mawar Gunungsitoli (1986)
3. SMA Swasta
St.Thomas 1 Medan (1989)
4. Universitas
Kristen Maranatha Bandung (1996).
·
Email: constantg36@gmail.com
·
Album:
1. Mohili
Tafari (2001)
2. Mohili Ahani (2001)
3. Mohili Ataya (2002)
4. Megai Trio (2002)
5. Tasuno (2003)
6. Harazaki (2003)
7. Mohili Gego (2003)
8. Tice (2004)
9. Mohili Lauru (2004)
10. Mohili
Bermazmur (2004)
11. Maena
Ni’owalu (2005)
12. Ono Alawe (2005)
13. Mohili Ga’a (2006)
14. Li Ndraono (2007)
15. Lada Limi (2008)
16. Futi-futi (2008)
17. Mohili Hana (2009)
18. Maena
Amaedola (2011).